Monday, 3 June 2013

Tolak Bala'



Saya tergelitik dengan postingan seorang member di salah satu grup facebook bertemakan sepakbola yang saya turut serta join di dalamnya. Bunyinya seperti ini “Jangan lupa partai perpisahan " Michael Ballack " lusa 5 Juni 2013 ini di Stadion Leipzig yang bertajuk "Ciao Capitano, World Class Evening". Seketika itu juga senyum saya merekah, karena saat itu juga saya langsung terbawa untuk melakukan kilas balik hidup saya kembali 11 tahun lalu menuju tahun 2002 silam. Apa yang terjadi di tahun itu? Sambil mengumpulkan kepingan puzzle memori saya dan menyatukannya, akhirnya muncul rasa gatal untuk menuangkan pengalaman pribadi saya tersebut ke dalam blog ini. Ya itung-itung nambah tulisan dan meramaikan isi blog kan boleh yeeee… :D

Michael Ballack. Hayo ngacung siapa yang gak atau belum kenal pria satu ini? Paling nggak ya cukup tau aja deh orangnya yang mana. Lumayan melegenda juga lho. Meski gak doyan sama sepakbola dan cuma suka kalo ada momen semacam Piala Dunia atau Piala Eropa semestinya pernah dengar namanya juga. Baiklah bagaimana kita bahas profil singkat pesepakbola satu ini?


Ini loh Michael Ballack, ganteng khan?
Michael Ballack lahir 26 September 1976 di kota kecil Gorlitz yang terletak di bagian timur negara Jerman. Ballack memulai karirnya sebagai seorang muda di Chemnitzer FC, dengan tim lokal, dan membuat debut profesional pada tahun 1995. Meskipun ia diasingkan di musim pertamanya, penampilannya di musim berikutnya di liga Regional membuat dirinya ditransfer ke Kaiserslautern pada tahun 1997. Ia memenangkan Bundesliga di musim pertamanya di klub itu dan hal tersebut menjadi prestasi pertamanya. Tetapi yang membuat ia mengemuka sebagai pesepakbola top dan papan atas adalah ketika bergabung dengan Bayer Leverkusen di musim 1999/2000 dengan nilai transfer sebesar 4.1 juta Euro.

Oke cukup sampai disitu dulu profil singkat awal karir dari seorang Michael Ballack. Saya balik lagi kembali menceritakan apa yang terjadi pada tahun 2002. Di pertengahan tahun itu digelarlah ajang paling prestisius dalam sepakbola yang diadakan hanya satu kali dalam empat tahun. Apalagi kalau bukan Piala Dunia. Dan di tahun 2002 ini yang berkesempatan menjadi tuan rumahnya adalah Jepang dan Korea Selatan. Ini merupakan pertama kalinya Piala Dunia diadakan di Benua Asia. Suatu kepercayaan sekaligus menjadi beban yang luar biasa bagi kedua tuan rumah untuk mensukseskan ajang ini. Cukup lagi. Saya tidak akan menguraikan bagaimana detail dan rinci setiap pertandingannya hingga final karena itu akan membutuhkan berpuluh-puluh lembar kertas A4 apabila dicetak.

Gelaran Piala Dunia 2002 ini berlangsung selama 31 hari mulai 31 Mei – 30 Juni. Dan tanggal segitu seperti biasa merupakan periode-periode pahit dengan apa yang namanya ujian kenaikan kelas bagi semua siswa-siswi yang sedang bersekolah, mau itu SD, SMP, dan SMA/SMK sekaligus. Saya yang saat itu tengah duduk di kelas 2 SMP pun dibuat dilema karenanya. Bagi saya yang suka menonton sepakbola, terlebih karena tidak ingin kehilangan momen 4 tahunan ini pun segera memutar otak, berpikir supaya dapat menyeimbangkan keduanya. Alhasil saya putuskan untuk tetap belajar dengan kondisi apapun itu sehabis menonton berbagai pertandingan yang disiarkan.

Entah memang berpengaruh atau tidak, bencana terjadi pada saya. Saat pembagian rapor, untuk pertama kalinya dalam sejarah, saya terlempar dari ranking 10 besar! Aaarrrrgghhh! Caturwulan (sebelum menggunakan semester) itu saya mendapat ranking 13 dari sebelumnya berada di jajaran 5 besar! Langsung ngedrop seketika. Perasaan kecewa, kesal, sedih, bercampur jadi satu dibuatnya. Setibanya di rumah saya juga langsung dihadapkan pada orang tua yang agak sedikit memarahi (tapi masih dalam batas kewajaran) ditambah dengan memberikan hukuman menghabiskan 2 minggu liburan di rumah saja. Hiks...

Spoiler for Rapor
Sayapun dengan perasaan gundah gulana *halah* menonton final Piala Dunia yang mentas di Yokohama Stadium tepat 1 hari setelah pembagian rapor yang mempertemukan Brazil dan Jerman. Hasilnya kita ketahui bersama, Brazil sukses mempecundangi Jerman lewat dua gol Ronaldo. Jagoan saya Italia sendiri sudah rontok dini di babak perdelapanfinal menyerah dari tuan rumah Korea Selatan. Jadi dengan hasil di final ini saya merasa netral. Tetapi entah mengapa saya menjadi iba dengan salah satu punggawa di Timnas Jerman, tak lain dan tak bukan adalah Michael Ballack itu sendiri. Bagaimana tidak, ditahun itu ia selalu nyaris membawa timnya menjadi juara. Bersama Leverkusen ia “hanya” mampu finish posisi kedua di Liga, mencapai final Piala Jerman, dan yang paling tragis mencapai final Liga Champions untuk kalah dari Real Madrid. Jadi di tahun itu ia menjadi 4 finalis! Ditahun itu pula ia mendapat julukan Mr. Runner-Up.

Ballack Di Final Liga Champions 2001/2002
Memakai  Kostum Kebesaran Jerman, Sayang Selalu Gagal Juara
Nah ini entah mengapa lagi terbawa kedalam diri saya karena saya seolah menjadi loser layaknya Michael Ballack berkat hasil di rapor tersebut. Ditambah kebetulan yang jelas dijejelin demi menegaskan “hubungan” special saya dengan Ballack tahun itu : nomor punggungnya yang 13 sama dengan ranking yang saya dapat dan itu tentu dipercaya sebagai angka sial . Lengkap sudah, tentu saya tidak ingin saya selalu menjadi nomor dua seperti dia. Lucunya, kakak-kakak saya menyindir saya untuk segera melakukan “Tolak Bala’” yang merupakan plesetan dari “Tolak Ballack” -_____-

Tapi syukurlah, sama seperti Ballack yang berhasil keluar dari bayang-bayang sebagai Mr. Runner-Up pasca tahun 2002, saya juga bisa bangkit kembali mendapatkan hasil yang membaik dengan kembali masuk dalam jajaran ranking 10 besar. Karena sesungguhnya sekali lagi, kegagalan itu adalah sukses yang tertunda, bukan?
Kembali menjadi Mr. Runner Up di Liga Champions 2007/2008 Bersama Chelsea
Danke, Ballack!

Sunday, 2 June 2013

Asiknya Berburu Kursi Gratis



Bersambung dari postingan kisah "Aku dan Hikayat Untuk Travelling" sebelumnya, pada bulan Mei 2012 silam, tepat sebelum 2 bulan saya melakukan travelling ke Bali itulah ada godaan yang sungguh begitu besar untuk melakukan hal yang lebih jauh selanjutnya dalam mewujudkan keinginan saya. Kesempatan itu tak lain dan tak bukan adalah melakukan perjalanan lintas negara, keluar dan memisahkan diri sejenak dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gak perlu jauh-jauh dulu, yang paling terjangkau dan masuk akal adalah mengawalinya dengan kota kecil yang menyeruak menjadi kota yang sangat maju dan pesat perkembangannya, Singapore. Karena banyak juga yang menyarankan kalau mau ke luar negeri pertama kali datanglah ke Singapore.

Bentuk godaannya sendiri datang dari salah satu maskapai asing milik Tony Fernadez asal Malaysia lah, AirAsia. Maskapai yang berkali-kali disematkan penghargaan sebagai “World’s Best Low-Cost Airline” ini memang sudah dikenal luas sering memberikan promo yang sangat fantastis. Tapi jangan salah, tentunya dengan berbagai syarat dan ketentuan yang berlaku dan mengikat Salah satunya adalah periode perjalanan saat masa berlaku promonya sendiri yang bisa jadi baru dimulai 7 bulan sejak tiket dipesan. Ini sungguh marketing yang luar biasa brilian yang dilakukan, karena dalam waktu singkat mereka langsung mendapatkan dana segar yang seyogyanya pasti langsung akan diinvestasikan untuk hal-hal lain. Enaknya lagi, booking tiket dengan AirAsia tidak diwajibkan untuk memasukkan data paspor. Jadi yang belum mempunyai paspor tetap bisa booking tiket, nanti jika paspor sudah siap tinggal menghubungi call center mereka saja.

Nah kasak kusuk pun mulai terjadi saat itu. Mereka menawarkan Promo “Free Seat” untuk terbang ke beberapa destinasi domestik maupun internasional. Eits, tunggu dulu. Jangan salah kaprah dengan nama promonya itu sendiri. Karena yang dimaksud dengan “Free Seat” disini adalah kita digratiskan untuk biaya kursinya. Jadi kita tetap harus membayar berbagai jenis biaya yang lain seperti pajak, asuransi, dan tentu saja bahan bakar. Setelah dilakukan cek dan ricek dan menanti list harga di situs AirAsia, muncullah harga IDR 510K untuk melakukan perjalanan pulang pergi dari/ke Singapore! Termasuk murah dan terjangkau, bukan? Cocok sekali dengan tagline dari AirAsia itu sendiri “Now Everyone Can Fly”, coba bandingkan dengan maskapai lain yang lumayan pelit memberikan promo dan membanderol harga tike selalu di atas IDR 1 juta untuk destinasi yang sama.

Okay, harga sudah didapat, tinggal mengumpulkan massa. Pertama yang saya kontak adalah Ipan, sahabat sekaligus travel mate saya selama ini #eaaakkkk. Dengan hubungan pertemanan ala “Friends With Benefits” yang punya passion yang sama dengan travelling, selain itu disaat yang sama ia bisa diandalkan untuk melakukan booking tiket pesawat dikarenakan kapasitasnya sebagai karyawan di salah satu Agen Tour & Travel yang ada di Jakarta. Kedua adalah memilih tanggal keberangkatan dari periode perjalanan yang tersedia sesuai info promonya. Salah satu pertimbangan saya adalah dengan melihat jadwal rilis film-film Hollywood di tahun 2013. Dan terpilihlah minggu ketiga bulan Mei 2013, karena di tanggal pada minggu itulah film yang paling saya nantikan, Star Trek Into Darkness, rilis. Setelah mengontak beberapa teman lain akhirnya terkumpul 6 orang untuk melakukan trip ke Singapore.

Nah mari kita bahas bagaimana pengorbanan dan perjuangannya untuk mendapatkannya. AirAsia memberikan promo selalu terstruktur, syarat dan ketentuannya jelas, pun harganya juga jelas. Tapi apakah ditunjang dengan sistem yang mumpuni? Sayangnya, belum! Mungkin dikarenakan banyaknya akses dari segala penjuru PC/laptop ke situsnya yang membuat sistemnya menjadi down. Sangat down! Pada awalnya kita digiring masuk ke sistem antriannya selama beberapa menit, bahkan bisa mencapai setengah jam lamanya. Inilah yang jadi tantangannya. Melawan rasa kantuk di jam orang-orang sudah pada tidur, kita masih harus tetap kudu melek untuk berhasil mendapatkannya! Mana besok kita juga harus bangun pagi untuk kerja. Mau tidak mau juga, karena siapa cepat dia dapat. Karena kursi yang tersedia juga tentu amat sangat terbatas.

Duh, sepertinya no hope alias gak ada harapan. Ipan yang punya akses paling memungkinkan untuk online 24/7 saat itu belum berhasil untuk booking paska gerbong promo dibuka. Tapi Alhamdulillah paginya ia sukses melakukan booking 6 tiket PP Jakarta-Singapore untuk keberangkatan tanggal 12 – 14 Mei 2013.


Bayangkan, kami harus menunggu setahun untuk berangkat! Sesuatu yang sangat konyol untuk dipertaruhkan, bukan? Karena kita jelas tidak tau apa yang akan terjadi dalam 12 bulan ke depan, apa masih hidup apa nggak kita juga gak tau. Tapi yah demi mendapatkan harga yang murah ikhlas deh untuk berinvestasi dimuka. Manfaat lainnya kita masih punya banyak waktu untuk mempesiapkan segala sesuatunya menjelang keberangkatan.

Gatal dengan promo AirAsia yang sama, saya juga melirik rute-rute lain yang ditawari disana. Satu diantara yang sangat menggiurkan dan sangat sulit untuk dihiraukan adalah rute Palembang – Kuala Lumpur yang dibanderol dengan tiket seharga IDR 196K untuk pulang pergi sekaligus! What a cheap bargain, huh? Gak jadi masalah untuk saya kalau mesti harus ke Palembang terlebih dahulu yang berjarak 6 jam dari Jambi Seketika itu juga saya langsung mengontak dua orang sahabat saya di Palembang untuk ikut serta dalam trip tersebut. Mereka berminat dan kami putuskan untuk memilih bulan Januari untuk keberangkatan trip ke Kuala Lumpur. Saya hubungi Ipan untuk minta tolong dibookingkan tiket dan yang tersedia untuk keberangkatan  25 – 27 Januari 2013. Challenge accepted!  Tapi sayang, keberuntungan menjauh untuk kami berangkat ke Kuala Lumpur. Karena beberapa bulan menjelang berangkat, 2 orang teman saya ini memutuskan untuk tidak jadi berangkat. Belum siap untuk travelling sendirian, apa boleh buat, saya juga mengikhlaskan tiket ini hangus. Toh uang yang ditanam untuk investasi ke Kuala Lumpur ini tidak seberapa T_T


Kembali fokus dengan kepada trip ke Singapore, kami semakin semangat mulai merencanakan sesuatunya. Mulai dengan menargetkan kapan paspor harus siap, mencari-cari hostel untuk menetap nanti, membahas apakah butuh memesan bagasi tambahan, sampai membahas kemana saja nanti ketika di Singapore. Ditambah dengan juga bergabungnya salah satu teman lainnya. Maka sekarang kami total bertujuh orang melakukan trip ini. Tapi lamban laun entah mengapa semangat teman-teman yang lain menguap. Tinggal saya dan Ipan yang tetap bergairah selalu membahas trip ini hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan.

“Kenapa  tidak sekalian keliling ASEAN aja yak?”, celetekku ke Ipan di medio Januari 2013. Awalnya sih cuma niat pancingan aja, eh gak taunya langsung diamini sama dia 0_0. Dan jadilah trip yang awalnya hanya ke Singapore menjadi trip keliling ASEAN. Semesta sepertinya juga mendukung kami. Pada saat yang sama AirAsia lagi-lagi mengadakan promo “Free Seat”. Setelah berdiskusi panjang lebar dan mempertimbangkan sisi teknis dan ekonomis, kami putuskan untuk memperpanjang rutenya menjadi “Jakarta - Singapore - Kuala Lumpur - Bangkok - Phuket - Jakarta”. Untuk itu kami memesan tiket pesawat AirAsia untuk rute KL – Bangkok dan Phuket – Jakarta dengan sisanya cukup hanya menggunakan bus antar negara saja. Sedikit mengesampingkan 5 orang rekan yang memutuskan membatalkan keikutsertaannya yang lain, maka yang tersisa tinggal saya dan Ipan. Tapi untunglah kami mendapat tambahan 2 orang yang ikut serta dalam mega trip ini.

Semuanya sudah oke. Hari H pun kian dekat. Langkah selanjutnya tinggal menyusun yang namanya itinerary…

Saturday, 1 June 2013

Dilemata



Apa salah satu penyesalan yang pernah kamu alami? Adakah hal yang ingin kamu ubah dan ingin diperbaiki  jika seandainya bisa melakukan perjalanan kembali ke masa lampau?

Jika disuguhi pertanyaan-pertanyaan di atas, saya hanya ingin kembali ke masa kanak-kanak saya. Mau ngapain? Karena kurang masa bermain waktu dulu? Hih, bukanlah! Saya udah lumayan cukup puas merasakannya. Yang saya ingin ubah hanya satu, kebiasaan membaca sambil tiduran plus dengan penerangan yang tidak cukup… *sigh*

Pada dasarnya saya termasuk anak yang suka membaca. Bahkan sebelum masuk Sekolah Dasar (SD) saya sudah diklaim sebagai anak yang sudah mampu mengenal semua huruf dan angka sebelum terjun ke bangku SD #tjiee. Hal itulah yang mendasari kegemaran saya membaca, dulu. Karena sekarang entah kenapa kegemaran ini semakin kesini perlahan semakin memudar. Bisa dilihat dari setumpuk novel dan buku yang sudah dibeli sejak beberapa tahun, tetapi sama sekali belum tersentuh hingga saat ini. Ah, entahlah kenapa…

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di bangku sekolah, orang tua saya merasa harus mensetting anaknya ini agar bisa fokus belajar di sekolah. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan meminta kepada wali kelas menempatkan saya untuk duduk di bangku di baris paling depan. Sejujurnya saya sama sekali tidak keberatan karena saya adalah tipe anak yang kalem sepanjang sesi belajar mengajar berlangsung. Sehingga saya ikut terbawa untuk selalu memilih tempat duduk paling depan hingga saya duduk di tahun terakhir SD. Ditambah lagi ukuran saya yang termasuk paling mini diantara teman-teman sekelas yang lain. Aneh aja liatnya kalau duduk di baris belakang. Imutnya kan jadi kurang keliatan *uhuk*. Yah jika tidak bisa paling tidak di baris keduanya gitu deh. Pokoknya papan tulis selalu terlihat tampak luas di mata #apasik

Nah setelah inilah masalah mulai muncul..

Tibanya saya mengenyam bangku SMP (jaman saya namanya SLTP), dimana SMP tersebut adalah salah satu SMP terbaik dan terfavorit di kota Jambi, tentu butuh perjuangan lebih untuk bisa duduk di bangku depan. Karena murid-murid-nya kebanyakan senang belajar *duh* dan sangat semangat bersekolah. Dan biasanya yang model-model gini tentu memilih untuk duduk di bangku depan, dong ya? Kehabisan tempat duduk di depan mau tidak mau membuat saya agak duduk menjorok ke bagian baris belakang. Dan you know what? Saya kesulitan membaca tulisan di papan tulis! Mungkin selain faktor duduk di bangku belakang, juga karena ruangan kelas di SMP lebih luas dan lapang di banding jaman SD dulu. What should I do? Tapi untunglah saya bisa nego untuk tukeran tempat duduk sama salah satu teman, tapi tetap saja belum membantu untuk melihat jelas tulisan di papan tulis.

Tahun pertama di SMP pun berjalan, tiap ada materi yang catatannya ada di papan tulis saya pun cukup kewalahan menghadapinya. Solusi saya ya maju ke depan sejenak untuk sekedar melihat lalu kembali lagi ke meja untuk menulisnya, begitu seterusnya. Atau kalau lagi malas menyalin catatan dari teman yang duduk di sebelah. Tapi jangan salah. Ini beresiko dicurigai tatkala kita lagi ulangan harian. Kita dipikir nyontek! Padahal saya kan cuma mau liat soalnya aja. Ini sungguh tidak adil +___+. Jalan terakhir yang sungguh cukup efektif yang saya temukan sendiri caranya adalah dengan memicingkan mata. Serius, it works! Caranya cukup dengan membuat hole atau lubang kecil dari tangan yang seperti menggenggam. Seolah-olah tangan kita ini berlaku sebagai medium untuk mata kita melihat. Tinggal memicing-micingkan mata, maka tulisan di papan tulis akan semakin jelas. Horray! I invented something! #apeu

It works!
 Di tahun kedua saya pun gerah, capek, dan tak tahan lagi. Mau sampai kapan main keker-kekeran model gini? Ini semua harus dicari solusinya! Akhirnya saya memutuskan cerita kepada orang tua saya. Dan beberapa hari kemudian bersama Abang Ipar, saya diajak ke salah satu optik kacamata kenalan milik orang minang juga, dengan modus mungkin ngarep dapat diskon juga. Muahahahahah. Dasar orang Padang #eh #ditimpuk. Setelah memilih frame/bingkai mana yang akan digunakan, saya pun diminta untuk masuk ke suatu ruangan yang disinyalir dijadikan tempat pemeriksaan mata gitu. Untunglah sudah menggunakan system yang komputerisasi. Jadi saya dihadapkan dengan alat ala teropong, dan didepannya terdapat semacam layar komputer.

Beberapa saat kemudian petugas yang memeriksa tadi menyimpulkan dengan memberi vonis bahwa saya menderita rabun jauh (miopi). Menurut bahasa ilmiahnya, Miopi ini disebabkan jarak titik api lensa mata terlalu pendek atau lensa mata terlalu cembung. Jadi sinar yang masuk jatuh di depan retina sehingga mata tidak dapat melihat benda jauh. TIDAAAAKKK! Dunia pun serasa mau runtuh *lebay. Ya memang sudah menebak juga sih. Karena kalau baca dekat masih bisa dan jelas.  Yang bikin kaget adalah berapa minus yang saya derita. Drum roll please.. Mata kanan dan kiri pada kompak udah minus 2 ½  aja! Biasanya kan katanya kalau awal-awal paling cuma minus ½ atau paling tinggi 1. Hiks…

Entah berpengaruh dari faktor keturunan atau gimana, setelah diperhatikan ternyata dalam keluarga saya lumayan banyak yang mempunyai kelainan mata. Papa dan Mama juga sekarang memakai kacamata untuk membaca karena menderita rabun dekat. Dan 2 orang kakak saya sepertinya juga menderita rabun jauh walau tidak terlalu memusingkannya karena sudah dirasa tidak butuh.

Hingga saat ini sudah 5x saya terhitung mengganti kacamata. Bisa karena lensanya udah terlalu lama sehingga bias warnanya sudah mulai pudar, atau masalah frame yang seringkali menjadi miring dan jadi membuat tidak nyaman dipakai.  Beberapa tahun lalu sempat terpikir untuk mencoba memakai lensa kontak (soft lens). Bahkan sempat dating ke salah satu optik kacamata untuk tanya-tanya masalah soft lens. Tapi setelah mendengar banyak pantangannya seperti kalau mau shalat kudu dilepas, bagaimana repotnya bongkar pasangnya, serta bagaimana perawatannya sendiri. Petugasnya  ada berujar “sepertinya Mas gak cocok kalo pake soft lens, kuku gak boleh panjang”, sambil lirik kuku-kuku-ku ditangan yang memang lagi panjang-panjangnya saat itu. Ish. Terpaksa deh mundur teratur dan mengurungkan niat menggunakan soft lens.

“Kalau terus-terusan pakai kacamata nanti minusnya berkurang lho”. Meeehh! Jangan percaya! Itu Cuma mitos! Rasanya amat sangat jarang terjadi fenomena minus berkurang. Ini adalah tahun ke-12 sejak saya memulai kacamata. Mesti juga lumayan sering disokong asupan dengan memakan wortel yang katanya banyak mengandung Vitamin A yang baik untuk mata, tapi nyatanya mata saya tidak ada tanda-tanda akan kunjung menurun minusnya, justru malah semakin bertambah.

Beberapa bulan terakhir yang saya rasakan mata saya malah semakin cepat lelah, mungkin karena diforsir untuk selalu menatap layar PC/Laptop untuk bekerja dan bersocial media kali, ya -_-.  Terkadang malah disertai dengan bikin kepala berdenyut dibuatnya. Bisa jadi karena kacamatanya sudah tidak cocok lagi dengan mata karena udah dipakai selama 2 tahun juga. Maka kemarin saya memutuskan untuk ke salah satu optik untuk mengganti kacamata sekaligus melakukan pemeriksaan mata kembali. Dan benar saja, minusnya semakin naik. Mata kanan menjadi minus 3 ¾ , sedangkan mata kiri sedikit lebih baik, minus 3 ½ -________________-!

Tau LASIK? Laser Assisted In Situ Keratomileusis (LASIK) menjadi metode yang kini semakin banyak digunakan untuk mengoreksi  kelainan refraksi, seperti mata minus, mata plus dan mata silidris. Metode ini bertujuan mengubah bentuk lapisan kornea agar pembiasan cahaya berlangsung sempurna. Banyak artis yang menggunakan cara ini untuk mengobati kelainan mata mereka. Salah satunya Rio Febrian yang kalau tidak salah punya mata minus diatas 8. Dia bilang kalau tidak pakai kacamata sama sekali tidak bisa melihat. Tapi lihatlah ia sekarang yang sudah tidak menggunakan kacamata lagi. Pengen sih, tapi sayang duitnya. Untuk operasi LASIK sepasang mata dibanderol biaya sebesar 15-20 juta rupiah. Heeeuuuuu mending buat umroh atau haji sekalian dah >,<. Jadi beruntung dan bersyukurlah kalian yang masih dianugerahi mata yang sehat. Manfaatkanlah sesuai porsi kerja dan kapasitasnya, jangan dipaksakan. Apalagi sampai merusaknya.

Dan tadi siang dapat info dari optiknya yang bilang kalau pesanan kacamatanya diundur selesai dalam 7 hari karena mesin potong yang error. Yah sudah lah, yang penting direimburse kantor ntar =_=

Friday, 31 May 2013

Review : Laura & Marsha



 Menjelajah bersama sahabat yang kita anggap sebagai “travel mate” sejati tentu adalah hal yang diidam-idamkan bagi semua orang. Apalagi tujuannya adalah ke Eropa yang notabene bukan temasuk kategori wisata yang gampang bagi sebagian besar orang. Dalam film Laura & Marsha inilah, kita diajak berpetualang menikmati keindahan panorama kota-kota di Eropa, mulai dari Amsterdam di Belanda hingga Venice di Italia. Tapi apakah film ini hanya menjual keindahan latar tempat syutingnya saja?

Bermula dari keinginan Marsha (Adinia Wirasti) yang berprofesi sebagai penulis buku best seller bertemakan travelling yang ingin berkeliling Eropa dengan misi “merayakan”  2 tahun meninggalnya Sang Ibunda. Ia semakin termotivasi setelah bermimpi mengunjungi suatu tempat yang sangat diyakini itu adalah salah satu kota di Eropa. Tak lupa pula Marsha mengajak sahabat karibnya sedari SMA, Laura (Prisia Nasution) untuk ikut serta berkeliling Eropa sembari mengharap kesempatan mendapatkan diskon lewat Tour & Travel dari tempat Laura sehari-hari bekerja sebagai karyawan. Keinginan Marsha tentu tidak langsung diamini oleh Laura. Karena pada hakikatnya Laura adalah seorang single parent yang tentu tidak ingin berlama-lama meninggalkan anak semata wayangnya, Luna. Tetapi karena satu peristiwa yang dia alami membuat padangannya sedikit berubah dan pada akhirnya setuju untuk menjadi “travel mate” bagi sahabatnya itu.


Setelah tiba pertama kali di Amsterdam, Laura menegaskan kepada sahabatnya itu akan aturan-aturan yang harus dipatuhi selama perjalanan mereka nanti. Marsha yang lebih ingin menikmati kebebasan dalam bertravelling pun setengah hati menyetujuinya. Meski demikian seiring perjalanan, karena watak dan sifat mereka yang berbeda membuat semuanya menjadi runyam. Gesekan kepentingan dan prioritas masing-masingpun ikut serta dipermasalahkan. Tak berhenti sampai disitu semakin bertambah pelik dengan hadirnya sosok asing bernama Finn yang bergabung untuk travelling bersama mereka. Siapa Finn sesungguhnya? Dan sebenarnya apa motif tersembunyi yang melatarbelakangi perjalanan mereka ini? Dapatkan mereka mengatasi masalah demi masalah yang menerpa mereka?

Subjektif dalam menilai suatu film tentu sah-sah saja, bukan? Dikatakan lumrah karena kita sendirilah yang tau standar penilaian tersebut. Banyak aspek yang menjadi pertimbangan kita dalam menilai. Dan tentu saja setiap individu punya kriterianya masing-masing. Inilah yang saya rasakan setelah menonton Laura & Marsha.

Sebagai orang yang doyan dengan yang namanya travelling, film ini tentu punya nilai lebih bagi saya. Bahkan terlepas sebelum menonton filmnya sekalipun, saya tau kalau saya kemungkinan besar akan menyukainya. Bagaimana tidak? Seperti road movie kebanyakan, bisa dipastikan film ini akan membawa kita jalan-jalan ke berbagai tempat dan lokasi yang berbeda. Apalagi setelah mengetahui kalau film ini bersettingkan beberapa kota di Eropa. Oh gosh. Langsung dimasukkan sebagai tontonan wajib tentunya.
Tayang ditengah gempuran film-film summer hollywod berbujet besar sepertinya akan sangat mempengaruhi pencapaian film ini nantinya. Seperti yang dapat dilihat waktu nonton kemarin, Laura & Marsha dikeroyok oleh Furious Six yang mendapat jatah tayang di 3 teater. 1 teater yang tersisa diberikan untuk Laura & Marsha. Tragisnya lagi itu adalah teater dengan kapasitas penonton paling sedikit. Makin ngenes setelah mendapati penonton didalamnya hanya terhitung belasan kepala saja. Tidak heran kalau film ini nanti hanya akan sanggup bertahan untuk seminggu kedepan.

Film perdana buah karya sutradara debutan Dinna Jasanti ini sebenarnya sangat lemah di sepertiga paruh awalnya. Terutama editing yang dirasa cukup kacau dan melompat-lompat demi segera mengejar untuk langsung sampai di Eropa. Yang lebih terkesan maksa yaitu tatkala kita disuguhi kecelakaan fatal yang menimpa salah satu tokohnya sehingga membuat ia koma, namun dalam sekejap kemudian sembuh seperti sediakala. Mungkin sutradara ingin lebih terperinci dalam menjelaskan maksudnya, tapi pada akhirnya menjadi bagian yang begitu lemah. Tidak ada bagian itu juga tidak akan merusak hasilnya. Dahipun berkernyit dan membuat ekspektasi menjadi agak menurun.

Tapi syukurlah ternyata bagian paling jelek dan konyol berakhir hanya sampai disitu saja, karena setibanya mereka di Eropa dan mulai melakukan perjalanan semuanya berubah menjadi lebih menarik. Sepanjang film saya sempat mengumbar senyum beberapa kali karena salah satu karakternya mirip dengan saya apabila sedang travelling. Bagaimana konflik dan apa yang mereka rasakan dan alamipun juga pernah saya hadapi. Seakan bercermin dan ikut melakukan perjalanan bersama mereka. Sangat menyenangkan. Meski terlalu banyak menggampangkan bagaimana cara mereka travelling, karena terlalu banyak kemujuran yang menimpa mereka. Juga tidak dibutuhkan effort yang lebih untuk keluar dari masa sulit.

Bagian sinematografi bolehlah mendapat kredit tersendirinya disini. Terlepas dari objeknya yang memang sudah sangat indah, tetapi dengan cara pengambilan yang ampuh tentu semakin memanjakan mata. Dari bangunan-bangunan berarsitektur megah di Amsterdam, landskap panorama jalanan dan pegunungan yang membelah kota Innsbruck, hingga romansa indahnya Venice bersama gondola-gondola yang melaju berhasil ditangkap secara maksimal. Semakin padu dipadankan dengan score dan music yang mengalun sepanjang perjalanan. Terdengar begitu pas dan tentu saja menambah daya tarik lebih menekankan cita rasa khas Eropa dalam film ini.

Naskah yang ditulis oleh Titin Wattimena yang belum lama ini berkarya lewat “Hello Goodbye” juga bisa dibilang mumpuni terlepas dari kekonyolan yang terjadi di awal. Bagaimana tidak, dialog-dialog yang ada sangat mencerminkan maksud dan makna dari kisah perjalanan ini. Walaupun kental dan sarat dengan penggambaran bagaimana travelling bagi orang kebanyakan, tetapi tentu tidak hanya itu. Ditambah dengan adanya cerita dan drama yang ia balut menjadi benang merah penghubung antar konflik yang ada. Disamping itu, bumbu-bumbu penyedap berupa kejutan dalam cerita yang diselipkan juga dirasa pas pada tempatnya dan tidak berlebihan.

Pemenang dalam film ini bisa dibilang ada pada departemen aktingnya. Sangat berhasil dengan mendapuk duet aktris Prisia Nasution dan Adinia Wirasti sebagai tokoh sentral. Masing-masing berhasil membawakan perannya dengan baik meski sangat bertolak belakang satu sama lain, terlebih Adinia Wirasti yang diharuskan berlakon sebagai Marsha yang semrawutan, lepas, dan seenaknya sendiri sehingga kita simpati dan empati sekaligus kepadanya. Meski banyak yang bilang hal ini bukanlah hal yang baru baginya karena sebelumnya pernah bermain dalam 3 Hari Untuk Selamanya yang bertema serupa. Chemistry mereka sebagai sahabat karib sungguh kental. Mulai dari beradu mulut mempertahankan argumen,  hingga mengeluarkan sisi humoris dan melankolis mereka. Terutama saat konflik yang mereka alami sudah mencapai puncaknya itu. Saling lempar dialog plus gejolak emosi yang diberikan keduanya dan pada akhirnya saya pun berujar, “okay, mereka ini termasuk komoditi berharga dunia perfilman tanah air!”


Penutup kata, bagi saya Laura & Marsha termasuk film Indonesia yang kualitasnya di atas rata-rata dan layak untuk ditonton.  Film ini cocok untuk dijadikan referensi untuk travelling ke Eropa karena walaupun tidak secara mendetail dijelaskan masalah bujet, paling tidak jadi mengetahui bagaimana gambaran untuk travelling selama disana. Selain itu yang yang paling penting adalah bagaimana cara kita untuk menikmati travelling tersebut walaupun di tengah carut marut yang mengkin terjadi di luar kuasa kita, baik sendirian maupun bersama dengan partner travelling yang semestinya sudah tau luar-dalam akan diri kita, mengerti dan memahami kekurangan masing-masing. Karena esensi dalam travelling sendiri itu adalah menemukan, merenungkan, sekaligus mengeksplorasi diri kita sesungguhnya dan menambah khasanah kita untuk selalu bersyukur kepada-Nya.