Sunday 27 September 2015

Persiapan Menuju Turki

Jauh sebelum negeri kita diinvasi dengan sangat dahsyat oleh Elif dkk (baca : sinetron Turki), saya sejak semasa sekolah dulu sudah menyimpan kekaguman yang begitu luar biasa terhadap negara ini. Bagaimana tidak, Turki adalah satu-satunya negara di dunia yang berada di dua benua, Eropa dan Asia. How is that even possible, huh? Belum lagi Turki termasuk salah satu negara yang menyimpan sejarah penting tentang kejayaan khilafah Islam. Ah, makin meleleh lah awak dengan negara ini. Dan makin lengkap pula dengan memungkinkannya kita menaiki balon udara di negara ini. No doubt, It’s one of my top bucket list country to visit!

Tapi cita-cita tersebut seakan sangat jauh untuk dijangkau, karena letaknya yang beribu-ribu kilometer jauhnya dari Indonesia, tentu saja transportasi menuju sana tidak gampang dan murah. Jadi ceritanya masih memendam asa, apalagi portofolio dan kemampuan finansial saya backpacking ke luar negeri jauhnya baru sebatas Bangkok, itupun baru dimulai tahun 2013 silam. Cuma bisa kalem karena merasa masih terlalu jauh panggang dari api.

Jreng... Kemudian di bulan september 2014, muncullah postingan promo racun itu. Bagaimana tidak, untuk tiket pesawat Qatar Airways rute KUL-IST-CGK untuk keberangkatan bulan Mei 2015 cuma dibanderol 1391 MYR! (sekitar 5,1 juta ; kurs MYR saat itu 3700). Seketika jantung berdegup kencang, nafas naik turun, keringat dingin *lebay*. Inikah waktunya? Inikah masanya? Bahkan setelah dicek malah lebih murah kalau turunnya di bandara Sabiha Gokcen (SAW) bisa dapat 4,8 juta. Aaaaakkkk. Galau kawan, tapi entah kenapa karena tidak tersedia untuk keberangkatan bulan April (awal musim semi di Turki) maka promo tersebut dengan ikhlas saya relakan. Let it goooo...Let it goooo... Tapi tentu saja keinginan saya ke Turki makin menggebu-gebu karena satu hal yang pasti, tiket promo murah itu ada pemirsah!

Promo Racun!!!

Semenjak itu tiap hari kerjaan cuma ngecek tiket ke Istanbul yang murah lewat SkyScanner tongue emoticon . Uhlalaaa pucuk dicinta ulam pun tiba! Beberapa hari berlalu saya iseng-iseng cek multicity untuk rute ke Istanbul. Dan ketemulah yang paling murah, Emirates rute KUL-IST-SIN seharga 5,5 juta. Dan itu juga tersedia untuk bulan April 2015! Bahagia dooonngg. Eits, bentar dulu, kok ini dialihkan ke website lain sih (ebookers.com), terpercaya gak nih? Apa cuma tipu-tipu semata? *galau lagi*. Ada kalik 5 hari mikirin dulu kevalidan itu website. Googling sana sini emang gak ada review negatif soal ebookers. Nanya kawan-kawan BD lain belum banyak yg menggunakan agen travel yang berkantor di UK ini. Akhirnya tetap mengambil resiko, dengan bismillah, tiket diissued untuk keberangkatan minggu kedua April 2015 menggunakan kartu kredit dengan total dalam poundsterling senilai £ 278.30 (kurs saat itu 1 GBP = 19.900). Sekitar 10 menit kemudian saya mendapatkan email masuk dari ebookers tanda tiket sudah confirmed. Belum bisa bernafas lega, saya langsung coba retrieve booking di website Emirates. Taraaa bookingannya muncul. Lega rasanya. *minum adem sari*. Tiket udah ditangan, dan memang masih 6 bulan lagi berangkatnya. Tapi tidak serta merta saya bisa santai. Yah namanya juga pejalan mandiri, apa-apa ya mesti urus sendiri. Kalau mau gampang noh ikut tour & travel banyak :p. Langsung saya riset lebih jauh soal Turki.

Detail Penerbangan Menuju Turki

Sebentar, masuk Turki perlu pakai Visa gak sih? Ternyata Indonesia menjadi salah satu negara yang dimudahkan warga negaranya untuk masuk ke negara Turki. Untuk visa turis bisa pilih dengan 2 cara, apply secara online atau apply pada saat kedatangan di bandara Turki (VOA). Saran saya lebih baik apply secara online saja. Selain karena menghemat waktu ketimbang mengurus dan antri lagi nantinya, cara ini juga lebih praktis karena visa langsung bisa dicetak dan biayanya juga lebih murah hanya USD 25 (USD 35 kalau VOA per 1 Mei 2014). Untuk apply online kita tinggal meluncur saja masuk ke https://www.evisa.gov.tr/en/ , pilih waktu kedatangan, isi data diri sesuai paspor dan lakukan pembayaran. Untuk pembayaran tidak harus dengan kartu kredit, karena saya coba bisa dengan kartu Debit Visa milik salah satu bank di Indonesia. Setelah pembayaran sukses tak berapa lama kita akan mendapat Visa Turki yang bisa langsung diunduh. Simpel kan?

Daftar biaya kepengurusan E-Visa dan VOA Turki


3 langkah mudah untuk apply online Visa Turki!

Visa Turki yang bisa langsung diunduh setelah proses apply online selesai

Bagusnya jalan mandiri atau ikut tur aja ya ke Turki? Yah kalo horang kaya yang ingin santai dan nyaman selama perjalanan silahkan pergi dengan menggunakan tur & travel. Ada yang murni tur ke Turki saja dan bisa juga dikombinasi dengan umroh. Tapi jelas siap juga untuk merogoh kocek lebih dalam. Bisa jadi biaya yang dikeluarkan akan 2x lipatnya biaya yang dikeluarkan apabila jalan secara mandiri. Eits, tapi jangan salah. Ada beberapa destinasi wisata di Turki yang akan sangat sulit dilakukan dengan mandiri, bisa karena akses transportasi lokal yang susah ataupun karena memang tempat wisatanya mengharuskan kita datang dengan grup. Jadi salah satu caranya bisa dengan ikut tur yang diadakan agen lokal di Turki saja. Jadi tentu saja rekomendasi saya tetap berangkat dengan secara mandiri saja.

Mau kemana aja emang di Turki? Ini yang paling bikin pusing. Turki itu sangat luas dan semua kotanya sangat menarik untuk dikunjungi. Mulai dari Istanbul yang merupakan kota terbesar yang kaya akan sejarah dan budaya, Keunikan Pamukkale yang terdapat situs warisan UNESCO, Antalya dengan wisata airnya, hingga Cappadocia yang juara akan keindahan landskap-nya yang luar biasa. Dan saya hanya punya waktu 10 hari efektif selama di Turki :(. Setelah browsing sana-sini, tambah ini kurangi itu, maka saya putuskan hanya jalan dengan rute Istanbul-Bursa-Selcuk-Pamukkale-Cappadocia-Istanbul. Moda transportasi pindah antarkotanya bisa dengan ferry/bus/pesawat. Provider busnya cukup banyak antara lain Metro Turizm, Suha, Kamil Koc, dll. Untuk jadwal dan rutenya bisa dicek di website masing-masing provider bus. Beli tiket bisa on the spot di otogar (terminal) bus, asal tidak mepet dengan keberangkatan sih masih bisa dapat. Saat bus dalam perjalanan penumpang akan beberapa kali dibagikan cemilan.

Peta Negara Turki
Kapan sih waktu terbaik ke Turki? Ini jawabannya bisa subjektif, tergantung dengan interestnya masing-masing. Nah ini berhubungan langsung dengan cuaca dong ya. FYI, Turki adalah negara dengan 4 musim. Musim semi (April – Mei), musim panas (Juni – September), musim gugur (Oktober - November), dan musim dingin (Desember – Maret). Bisa dibilang musim semi di Turki menjadi primadona banyak orang. Karena cuacanya nyaman dan *uhuk*, ini musimnya bunga Tulip eksis! Tapi tentu saja juga harus bersiap dengan harga penginapan yang juga cenderung lebih mahal dari musim yang lain. Dan ini bisa juga jadi patokan bawa pakaian dan perlengkapan apa aja pas ke Turki. Biar gak salah kostum bisa disesuaikan saja dengan musim kedatangan. Saya sendiri karena ndeso tidak banyak ambil pusing soal hal ini. Karena walau Emirates memberikan jatah bagasi hingga 30 Kg, saya tetap hanya membawa carrier yg seberat untuk ukuran kabin saja. Jadi untuk baju cuma bawa 1 jaket parka, 1 jaket biasa, dan beberapa lembar kaos. Di pikiran saya musim semi itu udah bisa mejeng tanpa jaket, ternyata..... Brrrr masih cukup dingin dan berangin rupanya. Walhasil selama 10 hari di Turki berasa mati gaya karena tampilan luarnya cuma gonta-ganti 2 jaket itu aja -_-. Oh ya, jangan lupa pula bawa pelembab bibir dan muka biar gak kering.

Tinggal dimana selama di Turki? Well, jangan manja, masjid banyak kok ‪#‎eh‬. Tenang aja, mulai dari hostel dengan bunk bed harga 150ribuan/orang, apartemen, hotel dari tanpa bintang sampai banyak bintang dengan harga jutaan/malam juga tersedia. Terlebih di kota-kota besar semacam Istanbul dan Ankara jelas banyak tetapi harganya memang sedikit lebih mahal dari kota lain. Bisa booking di berbagai penyedia layanan penginapan yang ada. Rata-rata hostel sudah menyertakan sarapan dalam harga yang tertera. Mau lebih hemat ya kalau ada kenalan/host yang bersedia menampung. Tips hemat akomodasi bisa juga dengan ambil bis malam untuk pindah antar kota, jadi gak mikir lagi untuk penginapan.

Gimana dengan urusan duit? Mata uang apa yang berlaku di Turki? Walau wilayahnya ada yang masuk ke benua Eropa, karena Turki belum bagian dari Uni Eropa jadinya mereka masih punya mata uang lokal yang bisa dibanggakan, Lira. Tapi untuk metode pembayaran baik itu di pasar, hotel, dan tempat wisata ada juga yang bisa menerima USD atau Euro. Tetapi bagusnya tukar saja ke Lira karena mata uangnya diterima di semua tempat. Berhubung di Indonesia sulit mencari money changer yang menyediakan Turkish Lira, jadi bisa bawa USD/Euro dari Indonesia dan nanti silahkan tukar di money changer di Istanbul yang ratenya bagus banyak di sekitaran Grand Bazaar. Atau opsi kedua bisa dengan tarik tunai menggunakan kartu ATM di mesin ATM yang berlogo visa/mastercard yang banyak terdapat di Istanbul. Waktu itu saya dikenakan charge sebesar Rp. 25.000 setiap kali penarikan (Kartu ATM Mandiri di Mesin ATM Garanti ‪#‎rhyme‬). Jadi untuk menghemat biaya penarikan bisa tarik tunai langsung dengan jumlah yang besar sesuai keperluan.

Keliatannya persiapannya begitu mulus yah. Tetapi ada beberapa kejadian lumayan bikin geger yang sempat bikin mood berangkat sedikit terganggu kala itu. Mulai dari yang simpel macam reschedule AirAsia tujuan KL dan kurs dollar yang makin hari makin naik, sampai yang lumayan bikin cemas pas jatuhnya QZ8501, bom bunuh diri di Istanbul, hingga kasus puluhan WNI yang “menghilangkan” diri di Turki. Apalagi yang terakhir tuh asli bikin cenat-cenut pake bawa-bawa ISIS kan ya. Tapi yang namanya tekad udah bulat ya mau gimana lagi. Semua sudah diserahkan kepada yang di atas. Alhamdulillah eksekusinya berjalan dengan lancar walau itinerary ada yang banyak diimprovisasi karena kondisi di lapangan. Kalau dipikir—pikir saya sangat bersyukur bisa cepat berangkat ke Turki sebelum krisis terhadap dollar ini dimulai. Mengingat kurs dollar kok ya makin hari makin tinggi dan kondisi ekonomi saat ini yang sedang susah sepertinya banyak maskapai yang jarang lagi melakukan promo yang terhitung murah, dan biaya akomodasinya tentu saja sekarang menjadi lebih mahal.

So... sudah bersiap ke Turki? :p

Dubai - One Night Stand

Hujan deras di KLIA. Sangat deras. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam waktu Kuala Lumpur. Itu artinya pesawat Emirates kami sudah terlambat 35 menit dari waktu keberangkatan yang dijadwalkan untuk penerbangan Kuala Lumpur – Dubai. Ah, sudah mulai pasrah. Berarti rencana awal saat tiba di Dubai nanti akan gagal dieksekusi. Ya, tertundanya 1 jam pesawat kami terbang ke Dubai dari jadwal yang seharusnya tentu saja berakibat pula jadwal tiba kami di Dubai menjadi makin molor. Kalau saja tidak delay dijadwalkan kami tiba di Dubai pukul 22.15. Dalam pikiran kami jam segitu sepertinya masih memungkinkan untuk ngebut mengejar jadwal kereta Metro terakhir dari Terminal 3 kepusat kota Dubai. Hal ini sebenarnya sudah saya prediksi bisa saja terjadi. Untungnya saya punya rencana cadangan. Memang bikin cost membesar tapi apa boleh buat. Its the only way I had. Daripada visanya dianggurin kan sayang. Mahal-mahal appy visa masa gak jadi mampir ke downtown Dubai.

Pesawat Boeing yang kami tumpangi menjejak negeri Uni Emirate Arab sekitar pukul 23.00 waktu lokal. Dan untuk sampai ke gedung Terminal 3 kami menaiki semacam bus shuttle tanpa tempat duduk. Dan itu makan waktu lumayan lama sekitar 30 menitan. Rada jetlag karena habis melewati penerbangan panjang perdana selama hampir 7 jam. Karena nyawa masih belum sepenuhnya ngumpul maka kami putuskan beristirahat sebentar sesaat setelah sampai di gedung Terminal 3 DXB.

Pemandangan Kota Dubai saat pesawat akan landing

Welcome to Dubai International Airport (DXB)
 Bagi penumpang yang tidak punya visa bisa langsung masuk ke bagian untuk transit dan sekalian minta voucher meal gratis dari Emirates. Sedangkan kami dengan percaya diri melangkah menuju proses imigrasi *halah*. Cara apply visa bisa baca Visa UAE via Dubai.  Prosesnya lumayan singkat, tidak terlihat antrian yang panjang. Bermodalkan visa yang sudah saya cetak, paspor saya dicap oleh petugas imigrasinya tanpa ditanya macam-macam. Petugas imigrasinya pria dengan seragam atas bawah putih semacam gamis dengan penutup kepala *penting*. Jam 12 tengah malam kami keluar dari gedung terminal bandara dan langsung menuju area dimana Taxi bandara mangkal. Karena tidak ada lagi Metro yang beroperasi maka taksi adalah opsi moda transportasi kami terakhir dan satu-satunya untuk berkeliling kota Dubai. Sebelumnya sesuai info yang saya cari untuk tarif booking Taksi di Dubai selama 6 jam itu AED 300 (sekitar 1 juta rupiah saat itu) dan ternyata harga yang dipublish tertulis AED 500. *nangis*. Entah karena kami tibanya tengah malam dikenakan charge atau memang infonya tidak terupdate. Bisa saja kami memilih taksi meter biasa. Memang dirasa lebih efisien tapi tidak cukup efektif karena mesti gonta-ganti taksi. Ah sudahlah. Pantang mundur karena stok AED ada dilebihkan dikit. Maka langsung saja kita cus ke downtown Dubai!

Taksi yang kami naiki dikemudikan bapak bernama Mr. Hassan. Sebenarnya tidak semodel dengan taxi pada umumnya walau sama-sama sedan. Bahkan plang bacaan “Taxi” diatasnya juga tidak ada. Bagi saya mobilnya cukup mewah dan wangi. Sepanjang perjalanan jalanan sudah cukup sepi, tidak banyak mobil yang berlalu lalang. Setelah 30 menit perjalanan kami tiba di tujuan pertama kami. Ehm, the one and only : Burj Khalifa! Bangunan yang terletak di hingga saat ini masih dinobatkan sebagai gedung tertinggi di dunia ini dibangun selama lebih kurang 6 tahun ini dengan biaya menelan 1,5 milyar USD. Info dari Mr. Hassan yang membuat saya terperangah bahwa kawasan Burj Khalifa dan sekitarnya ini 8-10 tahun yang lalu masih berupa hamparan gurun pasir yang gersang! Betapa singkatnya mereka membangun kotanya menjadi salah satu kota termegah di dunia. Sayang kami tidak bisa melihat pertunjukkan air “Dubai Fountain” yang fenomenal itu. Mungkin lain kali ya... Aamiinn *ngarep*.

Finally, The tallest building in the world right now, Burj Khalifa!

Burj Khalifa
Setelah 1 jam menikmati epiknya Burj Khalifa di malam hari, waktunya melipir ke tujuan selanjutnya yaitu Burj Al Arab. Berhenti di Kite Beach untuk mendapatkan view Burj Al Arab secara penuh. Dinobatkan sebagai satu-satunya hotel Bintang 7 di dunia, Burj Al Arab berlokasi di Jumeirah Beach. Roger Federer dan Andre Agassi katanya pernah main tennis di helipad atas gedungnya. Di Kite Beach sebentar saja karena angin pantai malam harinya lumayan kencang dan dingin. Selanjutnya kita dibawa melihat pintu masuk ke Burj Al Arab.

Burj Al Arab dari Kite Beach
 
The only 7 star hotel in the world, Burj Al Arab
Kemudian lanjut lagi perjalanan ke Palm Atlantis. Dalam perjalanan saya juga banyak bertanya kepada Mr. Hassan. Saya jadi tau kalau di Dubai itu tenaga kerja asal Filipina lumayan banyak (jadi no wonder lah ya Cebu Pacific buka rute Manila – Dubai) sampai Abu Dhabi yang katanya jauh lebih tenang ketimbang Dubai. Sesampainya di gerbang masuk Palm Atlantis mobil kita dicegat oleh securitynya. Mr. Hassan keluar dan bilang kita cuma mau masuk bentar aja untuk foto. Eh tapi gak dibolehin. Well apaboleh buat cukup foto-foto dari gerbang masuknya aja deh. Jadi biasa aja kalo ngeliat Palm Atlantis dari gerbang depan, jangan bandingkan dengan isi di dalamnya yang bikin mupeng, silahkan googling kalo gak percaya upset emoticon. Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi, masih ada sekitar 3 jam waktu untuk berkeliling. Tapi kita sudah kelewat capek dan butuh istirahat karena badan rasanya gak siap langsung digenjot keliling tengah malam. Daripada belum apa-apa kita udah sakit, jadi gak mau ambil resiko. Dengan berat hati kami minta Mr. Hassan untuk dianterin balik ke bandara lagi. Cari tempat yang pewe untuk tidur di T1 keberangkatan DXB susah juga ya. Akhirnya kami tidur 2 jam di kursi tunggu di sekitar area keberangkatan.

Palm Atlantis

Meet our driver, Mr. Hassan!

Terdengar azan subuh langsung terbangun dan langsung sholat di prayer room. Kelar sholat langsung cabut keluar menuju stasiun Metro. Penerbangan lanjutan kami ke Istanbul dijadwalkan pukul 14.20. Jadi masih ada waktu sekitar beberapa jam untuk kembali ke pusat kota Dubai melihat suasananya di pagi hari. Kami langsung membeli tiket Metro di mesin tiket untuk tujuan berhenti di stasiun Burj Khalifa/Dubai Mall. Kalau untuk turis standar namanya Nol Red Ticket. Dari Stasiun Airport DXB ke Stasiun Burj Khalifa/Dubai Mall seharga AED 2.50 untuk sekali jalan.

Nol Ticket Metro Dubai

Metro Dubai
Metro Dubai
Larangan ketika berada di Metro

Bagi yang pernah naik MRT di Singapore akan merasakan sensasi yang tidak jauh berbeda ketika naik Metro Dubai. Sampai di stasiun tujuan kami langsung mengarah ke Dubai Mall. Ternyata jam 9 pagi belum banyak gerai disana yang buka. Keliling Dubai Mall yang lumayan besar sampai nyasar beberapa kali sambil mencari shortcut menuju Burj Khalifa tapi tidak juga ketemu. Jadinya nyantai saja selama di sana sekalian cuci mata. Jam 11 kami putuskan untuk balik lagi ke bandara biar gak telat untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi utama, Turki!

Burj Khalifa

Selamat datang di Dubai Mall

The Directory of Dubai Mall

Ternyata lagi ada event ComicCon di Dubai Mall

Meet Thor at Dubai Mall

Visa UAE (United Arab Emirates) - Dubai

16 Jam. Mau ngapain aja transit di bandara Dubai (DXB) selama itu? Mana pas tengah malam pula. Tiket KL-Istanbul yang saya issued termasuk murah, mungkin salah satu sebabnya karena kondisi saat transit yang lama saat penerbangan. Yah, biasanya semakin cepat waktu transitnya maka memang semakin mahal pula harga tiketnya. Kebanyakan penumpang tentu menghindari waktu transit yang lama karena ingin cepat sampai ke tempat tujuan. Sebenarnya transit lama di DXB bisa saja menjadi menyenangkan apabila difasilitasi langsung oleh maskapai. Atau minimal bisa leye-leye di lounge mereka di bandara. Lantas kenapa saya mesti khawatir?

Untuk saya yang hanya penumpang kelas ekonomi dan juga belum bersahabat dekat dengan Emirates karena ini merupakan penerbangan perdana bersama mereka, pilihan menyenangkan di atas sungguh terbilang mustahil. Emirates memang bisa memberikan fasilitas berupa penginapan selama transit, dengan salah satu syaratnya harga tiket penerbangannya diatas USD 1000. Errrr... Oke bye!

Lantas muncullah ide untuk tidak hanya sekedar transit di bandara Dubai saja. Bagaimana kalau sekalian aja “one night stand” ke pusat kotanya? Iya, sebagai pemegang paspor hijau yang tidak terlalu didgdaya ini, WNI harus masuk menggunakan visa ke wilayah Uni Emirate Arab. Mulai terbayang dah keribetan dan kemalesan untuk ngurus visa ke kedubes dan segala macem tetek bengek dokumen yang diperlukan. Mana ini pengalaman perdana apply visa pula. Beruntungnya, setelah googling sana sini ternyata maskapai Emirates memudahkan para penumpangnya untuk apply visa UEA. Untuk pemegang tiket Emirates opsinya ada 2 macam, bisa apply online atau bisa urus langsung di kantor VFS Global yang ada di Kuningan, Jakarta. VFS Global ini telah ditunjuk secara resmi sebagai partner DVPC (Dubai Visa Processing Center) untuk memegang kepengurusan visa dubai bagi penumpang Emirates. Karena posisi saya yang tidak memungkinkan untuk ke Jakarta, maka dengan senang hati saya memilih untuk apply visa secara online saja. Maka dimulailah mengumpulkan segala sesuatu terkait dokumen yang diperlukan.

Dokumen yang diperlukan tersebut tidak banyak :
1. Scan halaman depan paspor (yang ada data diri dan foto)
2. Scan halaman belakang paspor (yang ada data alamat dan pekerjaan)
3. File Pas foto ukuran paspor (direkomendasikan dengan latar putih)

Untuk jenis visa yang bisa diajukan secara online saat itu (Februari 2015) hanya 2 macam :
1. Visa Transit selama 96 jam (Biaya Visa USD 44 + Biaya Service USD 23.36)
2. Visa Turis selama 30 hari (Biaya Visa USD 57 + Biaya Service USD 23.36)

MAHAL! Itulah reaksi saya pertama saat mengetahui besaran biayanya. Bahkan sebenarnya biayanya lebih mahal dari visa untuk tujuan utama saya yaitu Turki yang cuma USD 25! Tapi ya sudahlah, tekad sudah bulat, pantang untuk mundur (padahal lumayan cemas takut bujet gak cukup :p). Selanjutnya segera apply visanya karena takut barangkali biayanya akan naik lagi. Karena jatah transit saya hanya 16 jam tentu saja saya cukup apply visa yang untuk transit selama 96 jam. Untuk apply visa online sendiri waktu transitnya minimal harus 8 jam.

Cara applynya gampang, kita cukup masuk ke situs Emirates dan masuk ke menu “manage my booking”. Masukkan nama akhir penumpang dan kode booking nanti akan diarahkan ke halaman terkait penerbangan kita. Selain untuk apply visa, di menu ini kita juga bisa memilih kursi dan menu makanan di pesawat saat terbang nanti. Klik “Apply for UAE Visa”. Silahkan isi dengan benar formulir pengajuan visanya sesuai dengan data diri di paspor. Ikuti saja step by step yang muncul. Sampai nantinya untuk upload dokumen dan untuk proses pembayaran bisa dengan menggunakan kartu kredit.

Apply visa Dubai secara online normalnya membutuhkan waktu 4 hari kerja untuk diproses. Voila! Pengalaman saya kemarin hanya butuh 2 hari saja untuk menerima hasilnya. Dan hasil diaccept/reject juga bisa selalu dipantau di menu Emirates diatas. Tinggal memasukkan kode referensi pengajuan visa saja. Oh ya untuk apply visa secara online ini mulai bisa dilakukan 60 hari sebelum tanggal tiba di Dubai dan selambat-lambatnya 4 hari sebelum kedatangan. Setelah melihat bentuk visa-nya, ternyata benar ditulis bahwa Emirates langsung yang bertindak sebagai penjamin/sponsor. Makanya besar kemungkinan permohonan visa dikabulkan.


Monday 3 June 2013

Tolak Bala'



Saya tergelitik dengan postingan seorang member di salah satu grup facebook bertemakan sepakbola yang saya turut serta join di dalamnya. Bunyinya seperti ini “Jangan lupa partai perpisahan " Michael Ballack " lusa 5 Juni 2013 ini di Stadion Leipzig yang bertajuk "Ciao Capitano, World Class Evening". Seketika itu juga senyum saya merekah, karena saat itu juga saya langsung terbawa untuk melakukan kilas balik hidup saya kembali 11 tahun lalu menuju tahun 2002 silam. Apa yang terjadi di tahun itu? Sambil mengumpulkan kepingan puzzle memori saya dan menyatukannya, akhirnya muncul rasa gatal untuk menuangkan pengalaman pribadi saya tersebut ke dalam blog ini. Ya itung-itung nambah tulisan dan meramaikan isi blog kan boleh yeeee… :D

Michael Ballack. Hayo ngacung siapa yang gak atau belum kenal pria satu ini? Paling nggak ya cukup tau aja deh orangnya yang mana. Lumayan melegenda juga lho. Meski gak doyan sama sepakbola dan cuma suka kalo ada momen semacam Piala Dunia atau Piala Eropa semestinya pernah dengar namanya juga. Baiklah bagaimana kita bahas profil singkat pesepakbola satu ini?


Ini loh Michael Ballack, ganteng khan?
Michael Ballack lahir 26 September 1976 di kota kecil Gorlitz yang terletak di bagian timur negara Jerman. Ballack memulai karirnya sebagai seorang muda di Chemnitzer FC, dengan tim lokal, dan membuat debut profesional pada tahun 1995. Meskipun ia diasingkan di musim pertamanya, penampilannya di musim berikutnya di liga Regional membuat dirinya ditransfer ke Kaiserslautern pada tahun 1997. Ia memenangkan Bundesliga di musim pertamanya di klub itu dan hal tersebut menjadi prestasi pertamanya. Tetapi yang membuat ia mengemuka sebagai pesepakbola top dan papan atas adalah ketika bergabung dengan Bayer Leverkusen di musim 1999/2000 dengan nilai transfer sebesar 4.1 juta Euro.

Oke cukup sampai disitu dulu profil singkat awal karir dari seorang Michael Ballack. Saya balik lagi kembali menceritakan apa yang terjadi pada tahun 2002. Di pertengahan tahun itu digelarlah ajang paling prestisius dalam sepakbola yang diadakan hanya satu kali dalam empat tahun. Apalagi kalau bukan Piala Dunia. Dan di tahun 2002 ini yang berkesempatan menjadi tuan rumahnya adalah Jepang dan Korea Selatan. Ini merupakan pertama kalinya Piala Dunia diadakan di Benua Asia. Suatu kepercayaan sekaligus menjadi beban yang luar biasa bagi kedua tuan rumah untuk mensukseskan ajang ini. Cukup lagi. Saya tidak akan menguraikan bagaimana detail dan rinci setiap pertandingannya hingga final karena itu akan membutuhkan berpuluh-puluh lembar kertas A4 apabila dicetak.

Gelaran Piala Dunia 2002 ini berlangsung selama 31 hari mulai 31 Mei – 30 Juni. Dan tanggal segitu seperti biasa merupakan periode-periode pahit dengan apa yang namanya ujian kenaikan kelas bagi semua siswa-siswi yang sedang bersekolah, mau itu SD, SMP, dan SMA/SMK sekaligus. Saya yang saat itu tengah duduk di kelas 2 SMP pun dibuat dilema karenanya. Bagi saya yang suka menonton sepakbola, terlebih karena tidak ingin kehilangan momen 4 tahunan ini pun segera memutar otak, berpikir supaya dapat menyeimbangkan keduanya. Alhasil saya putuskan untuk tetap belajar dengan kondisi apapun itu sehabis menonton berbagai pertandingan yang disiarkan.

Entah memang berpengaruh atau tidak, bencana terjadi pada saya. Saat pembagian rapor, untuk pertama kalinya dalam sejarah, saya terlempar dari ranking 10 besar! Aaarrrrgghhh! Caturwulan (sebelum menggunakan semester) itu saya mendapat ranking 13 dari sebelumnya berada di jajaran 5 besar! Langsung ngedrop seketika. Perasaan kecewa, kesal, sedih, bercampur jadi satu dibuatnya. Setibanya di rumah saya juga langsung dihadapkan pada orang tua yang agak sedikit memarahi (tapi masih dalam batas kewajaran) ditambah dengan memberikan hukuman menghabiskan 2 minggu liburan di rumah saja. Hiks...

Spoiler for Rapor
Sayapun dengan perasaan gundah gulana *halah* menonton final Piala Dunia yang mentas di Yokohama Stadium tepat 1 hari setelah pembagian rapor yang mempertemukan Brazil dan Jerman. Hasilnya kita ketahui bersama, Brazil sukses mempecundangi Jerman lewat dua gol Ronaldo. Jagoan saya Italia sendiri sudah rontok dini di babak perdelapanfinal menyerah dari tuan rumah Korea Selatan. Jadi dengan hasil di final ini saya merasa netral. Tetapi entah mengapa saya menjadi iba dengan salah satu punggawa di Timnas Jerman, tak lain dan tak bukan adalah Michael Ballack itu sendiri. Bagaimana tidak, ditahun itu ia selalu nyaris membawa timnya menjadi juara. Bersama Leverkusen ia “hanya” mampu finish posisi kedua di Liga, mencapai final Piala Jerman, dan yang paling tragis mencapai final Liga Champions untuk kalah dari Real Madrid. Jadi di tahun itu ia menjadi 4 finalis! Ditahun itu pula ia mendapat julukan Mr. Runner-Up.

Ballack Di Final Liga Champions 2001/2002
Memakai  Kostum Kebesaran Jerman, Sayang Selalu Gagal Juara
Nah ini entah mengapa lagi terbawa kedalam diri saya karena saya seolah menjadi loser layaknya Michael Ballack berkat hasil di rapor tersebut. Ditambah kebetulan yang jelas dijejelin demi menegaskan “hubungan” special saya dengan Ballack tahun itu : nomor punggungnya yang 13 sama dengan ranking yang saya dapat dan itu tentu dipercaya sebagai angka sial . Lengkap sudah, tentu saya tidak ingin saya selalu menjadi nomor dua seperti dia. Lucunya, kakak-kakak saya menyindir saya untuk segera melakukan “Tolak Bala’” yang merupakan plesetan dari “Tolak Ballack” -_____-

Tapi syukurlah, sama seperti Ballack yang berhasil keluar dari bayang-bayang sebagai Mr. Runner-Up pasca tahun 2002, saya juga bisa bangkit kembali mendapatkan hasil yang membaik dengan kembali masuk dalam jajaran ranking 10 besar. Karena sesungguhnya sekali lagi, kegagalan itu adalah sukses yang tertunda, bukan?
Kembali menjadi Mr. Runner Up di Liga Champions 2007/2008 Bersama Chelsea
Danke, Ballack!

Sunday 2 June 2013

Asiknya Berburu Kursi Gratis



Bersambung dari postingan kisah "Aku dan Hikayat Untuk Travelling" sebelumnya, pada bulan Mei 2012 silam, tepat sebelum 2 bulan saya melakukan travelling ke Bali itulah ada godaan yang sungguh begitu besar untuk melakukan hal yang lebih jauh selanjutnya dalam mewujudkan keinginan saya. Kesempatan itu tak lain dan tak bukan adalah melakukan perjalanan lintas negara, keluar dan memisahkan diri sejenak dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gak perlu jauh-jauh dulu, yang paling terjangkau dan masuk akal adalah mengawalinya dengan kota kecil yang menyeruak menjadi kota yang sangat maju dan pesat perkembangannya, Singapore. Karena banyak juga yang menyarankan kalau mau ke luar negeri pertama kali datanglah ke Singapore.

Bentuk godaannya sendiri datang dari salah satu maskapai asing milik Tony Fernadez asal Malaysia lah, AirAsia. Maskapai yang berkali-kali disematkan penghargaan sebagai “World’s Best Low-Cost Airline” ini memang sudah dikenal luas sering memberikan promo yang sangat fantastis. Tapi jangan salah, tentunya dengan berbagai syarat dan ketentuan yang berlaku dan mengikat Salah satunya adalah periode perjalanan saat masa berlaku promonya sendiri yang bisa jadi baru dimulai 7 bulan sejak tiket dipesan. Ini sungguh marketing yang luar biasa brilian yang dilakukan, karena dalam waktu singkat mereka langsung mendapatkan dana segar yang seyogyanya pasti langsung akan diinvestasikan untuk hal-hal lain. Enaknya lagi, booking tiket dengan AirAsia tidak diwajibkan untuk memasukkan data paspor. Jadi yang belum mempunyai paspor tetap bisa booking tiket, nanti jika paspor sudah siap tinggal menghubungi call center mereka saja.

Nah kasak kusuk pun mulai terjadi saat itu. Mereka menawarkan Promo “Free Seat” untuk terbang ke beberapa destinasi domestik maupun internasional. Eits, tunggu dulu. Jangan salah kaprah dengan nama promonya itu sendiri. Karena yang dimaksud dengan “Free Seat” disini adalah kita digratiskan untuk biaya kursinya. Jadi kita tetap harus membayar berbagai jenis biaya yang lain seperti pajak, asuransi, dan tentu saja bahan bakar. Setelah dilakukan cek dan ricek dan menanti list harga di situs AirAsia, muncullah harga IDR 510K untuk melakukan perjalanan pulang pergi dari/ke Singapore! Termasuk murah dan terjangkau, bukan? Cocok sekali dengan tagline dari AirAsia itu sendiri “Now Everyone Can Fly”, coba bandingkan dengan maskapai lain yang lumayan pelit memberikan promo dan membanderol harga tike selalu di atas IDR 1 juta untuk destinasi yang sama.

Okay, harga sudah didapat, tinggal mengumpulkan massa. Pertama yang saya kontak adalah Ipan, sahabat sekaligus travel mate saya selama ini #eaaakkkk. Dengan hubungan pertemanan ala “Friends With Benefits” yang punya passion yang sama dengan travelling, selain itu disaat yang sama ia bisa diandalkan untuk melakukan booking tiket pesawat dikarenakan kapasitasnya sebagai karyawan di salah satu Agen Tour & Travel yang ada di Jakarta. Kedua adalah memilih tanggal keberangkatan dari periode perjalanan yang tersedia sesuai info promonya. Salah satu pertimbangan saya adalah dengan melihat jadwal rilis film-film Hollywood di tahun 2013. Dan terpilihlah minggu ketiga bulan Mei 2013, karena di tanggal pada minggu itulah film yang paling saya nantikan, Star Trek Into Darkness, rilis. Setelah mengontak beberapa teman lain akhirnya terkumpul 6 orang untuk melakukan trip ke Singapore.

Nah mari kita bahas bagaimana pengorbanan dan perjuangannya untuk mendapatkannya. AirAsia memberikan promo selalu terstruktur, syarat dan ketentuannya jelas, pun harganya juga jelas. Tapi apakah ditunjang dengan sistem yang mumpuni? Sayangnya, belum! Mungkin dikarenakan banyaknya akses dari segala penjuru PC/laptop ke situsnya yang membuat sistemnya menjadi down. Sangat down! Pada awalnya kita digiring masuk ke sistem antriannya selama beberapa menit, bahkan bisa mencapai setengah jam lamanya. Inilah yang jadi tantangannya. Melawan rasa kantuk di jam orang-orang sudah pada tidur, kita masih harus tetap kudu melek untuk berhasil mendapatkannya! Mana besok kita juga harus bangun pagi untuk kerja. Mau tidak mau juga, karena siapa cepat dia dapat. Karena kursi yang tersedia juga tentu amat sangat terbatas.

Duh, sepertinya no hope alias gak ada harapan. Ipan yang punya akses paling memungkinkan untuk online 24/7 saat itu belum berhasil untuk booking paska gerbong promo dibuka. Tapi Alhamdulillah paginya ia sukses melakukan booking 6 tiket PP Jakarta-Singapore untuk keberangkatan tanggal 12 – 14 Mei 2013.


Bayangkan, kami harus menunggu setahun untuk berangkat! Sesuatu yang sangat konyol untuk dipertaruhkan, bukan? Karena kita jelas tidak tau apa yang akan terjadi dalam 12 bulan ke depan, apa masih hidup apa nggak kita juga gak tau. Tapi yah demi mendapatkan harga yang murah ikhlas deh untuk berinvestasi dimuka. Manfaat lainnya kita masih punya banyak waktu untuk mempesiapkan segala sesuatunya menjelang keberangkatan.

Gatal dengan promo AirAsia yang sama, saya juga melirik rute-rute lain yang ditawari disana. Satu diantara yang sangat menggiurkan dan sangat sulit untuk dihiraukan adalah rute Palembang – Kuala Lumpur yang dibanderol dengan tiket seharga IDR 196K untuk pulang pergi sekaligus! What a cheap bargain, huh? Gak jadi masalah untuk saya kalau mesti harus ke Palembang terlebih dahulu yang berjarak 6 jam dari Jambi Seketika itu juga saya langsung mengontak dua orang sahabat saya di Palembang untuk ikut serta dalam trip tersebut. Mereka berminat dan kami putuskan untuk memilih bulan Januari untuk keberangkatan trip ke Kuala Lumpur. Saya hubungi Ipan untuk minta tolong dibookingkan tiket dan yang tersedia untuk keberangkatan  25 – 27 Januari 2013. Challenge accepted!  Tapi sayang, keberuntungan menjauh untuk kami berangkat ke Kuala Lumpur. Karena beberapa bulan menjelang berangkat, 2 orang teman saya ini memutuskan untuk tidak jadi berangkat. Belum siap untuk travelling sendirian, apa boleh buat, saya juga mengikhlaskan tiket ini hangus. Toh uang yang ditanam untuk investasi ke Kuala Lumpur ini tidak seberapa T_T


Kembali fokus dengan kepada trip ke Singapore, kami semakin semangat mulai merencanakan sesuatunya. Mulai dengan menargetkan kapan paspor harus siap, mencari-cari hostel untuk menetap nanti, membahas apakah butuh memesan bagasi tambahan, sampai membahas kemana saja nanti ketika di Singapore. Ditambah dengan juga bergabungnya salah satu teman lainnya. Maka sekarang kami total bertujuh orang melakukan trip ini. Tapi lamban laun entah mengapa semangat teman-teman yang lain menguap. Tinggal saya dan Ipan yang tetap bergairah selalu membahas trip ini hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan.

“Kenapa  tidak sekalian keliling ASEAN aja yak?”, celetekku ke Ipan di medio Januari 2013. Awalnya sih cuma niat pancingan aja, eh gak taunya langsung diamini sama dia 0_0. Dan jadilah trip yang awalnya hanya ke Singapore menjadi trip keliling ASEAN. Semesta sepertinya juga mendukung kami. Pada saat yang sama AirAsia lagi-lagi mengadakan promo “Free Seat”. Setelah berdiskusi panjang lebar dan mempertimbangkan sisi teknis dan ekonomis, kami putuskan untuk memperpanjang rutenya menjadi “Jakarta - Singapore - Kuala Lumpur - Bangkok - Phuket - Jakarta”. Untuk itu kami memesan tiket pesawat AirAsia untuk rute KL – Bangkok dan Phuket – Jakarta dengan sisanya cukup hanya menggunakan bus antar negara saja. Sedikit mengesampingkan 5 orang rekan yang memutuskan membatalkan keikutsertaannya yang lain, maka yang tersisa tinggal saya dan Ipan. Tapi untunglah kami mendapat tambahan 2 orang yang ikut serta dalam mega trip ini.

Semuanya sudah oke. Hari H pun kian dekat. Langkah selanjutnya tinggal menyusun yang namanya itinerary…