Friday, 31 May 2013

Review : Laura & Marsha



 Menjelajah bersama sahabat yang kita anggap sebagai “travel mate” sejati tentu adalah hal yang diidam-idamkan bagi semua orang. Apalagi tujuannya adalah ke Eropa yang notabene bukan temasuk kategori wisata yang gampang bagi sebagian besar orang. Dalam film Laura & Marsha inilah, kita diajak berpetualang menikmati keindahan panorama kota-kota di Eropa, mulai dari Amsterdam di Belanda hingga Venice di Italia. Tapi apakah film ini hanya menjual keindahan latar tempat syutingnya saja?

Bermula dari keinginan Marsha (Adinia Wirasti) yang berprofesi sebagai penulis buku best seller bertemakan travelling yang ingin berkeliling Eropa dengan misi “merayakan”  2 tahun meninggalnya Sang Ibunda. Ia semakin termotivasi setelah bermimpi mengunjungi suatu tempat yang sangat diyakini itu adalah salah satu kota di Eropa. Tak lupa pula Marsha mengajak sahabat karibnya sedari SMA, Laura (Prisia Nasution) untuk ikut serta berkeliling Eropa sembari mengharap kesempatan mendapatkan diskon lewat Tour & Travel dari tempat Laura sehari-hari bekerja sebagai karyawan. Keinginan Marsha tentu tidak langsung diamini oleh Laura. Karena pada hakikatnya Laura adalah seorang single parent yang tentu tidak ingin berlama-lama meninggalkan anak semata wayangnya, Luna. Tetapi karena satu peristiwa yang dia alami membuat padangannya sedikit berubah dan pada akhirnya setuju untuk menjadi “travel mate” bagi sahabatnya itu.


Setelah tiba pertama kali di Amsterdam, Laura menegaskan kepada sahabatnya itu akan aturan-aturan yang harus dipatuhi selama perjalanan mereka nanti. Marsha yang lebih ingin menikmati kebebasan dalam bertravelling pun setengah hati menyetujuinya. Meski demikian seiring perjalanan, karena watak dan sifat mereka yang berbeda membuat semuanya menjadi runyam. Gesekan kepentingan dan prioritas masing-masingpun ikut serta dipermasalahkan. Tak berhenti sampai disitu semakin bertambah pelik dengan hadirnya sosok asing bernama Finn yang bergabung untuk travelling bersama mereka. Siapa Finn sesungguhnya? Dan sebenarnya apa motif tersembunyi yang melatarbelakangi perjalanan mereka ini? Dapatkan mereka mengatasi masalah demi masalah yang menerpa mereka?

Subjektif dalam menilai suatu film tentu sah-sah saja, bukan? Dikatakan lumrah karena kita sendirilah yang tau standar penilaian tersebut. Banyak aspek yang menjadi pertimbangan kita dalam menilai. Dan tentu saja setiap individu punya kriterianya masing-masing. Inilah yang saya rasakan setelah menonton Laura & Marsha.

Sebagai orang yang doyan dengan yang namanya travelling, film ini tentu punya nilai lebih bagi saya. Bahkan terlepas sebelum menonton filmnya sekalipun, saya tau kalau saya kemungkinan besar akan menyukainya. Bagaimana tidak? Seperti road movie kebanyakan, bisa dipastikan film ini akan membawa kita jalan-jalan ke berbagai tempat dan lokasi yang berbeda. Apalagi setelah mengetahui kalau film ini bersettingkan beberapa kota di Eropa. Oh gosh. Langsung dimasukkan sebagai tontonan wajib tentunya.
Tayang ditengah gempuran film-film summer hollywod berbujet besar sepertinya akan sangat mempengaruhi pencapaian film ini nantinya. Seperti yang dapat dilihat waktu nonton kemarin, Laura & Marsha dikeroyok oleh Furious Six yang mendapat jatah tayang di 3 teater. 1 teater yang tersisa diberikan untuk Laura & Marsha. Tragisnya lagi itu adalah teater dengan kapasitas penonton paling sedikit. Makin ngenes setelah mendapati penonton didalamnya hanya terhitung belasan kepala saja. Tidak heran kalau film ini nanti hanya akan sanggup bertahan untuk seminggu kedepan.

Film perdana buah karya sutradara debutan Dinna Jasanti ini sebenarnya sangat lemah di sepertiga paruh awalnya. Terutama editing yang dirasa cukup kacau dan melompat-lompat demi segera mengejar untuk langsung sampai di Eropa. Yang lebih terkesan maksa yaitu tatkala kita disuguhi kecelakaan fatal yang menimpa salah satu tokohnya sehingga membuat ia koma, namun dalam sekejap kemudian sembuh seperti sediakala. Mungkin sutradara ingin lebih terperinci dalam menjelaskan maksudnya, tapi pada akhirnya menjadi bagian yang begitu lemah. Tidak ada bagian itu juga tidak akan merusak hasilnya. Dahipun berkernyit dan membuat ekspektasi menjadi agak menurun.

Tapi syukurlah ternyata bagian paling jelek dan konyol berakhir hanya sampai disitu saja, karena setibanya mereka di Eropa dan mulai melakukan perjalanan semuanya berubah menjadi lebih menarik. Sepanjang film saya sempat mengumbar senyum beberapa kali karena salah satu karakternya mirip dengan saya apabila sedang travelling. Bagaimana konflik dan apa yang mereka rasakan dan alamipun juga pernah saya hadapi. Seakan bercermin dan ikut melakukan perjalanan bersama mereka. Sangat menyenangkan. Meski terlalu banyak menggampangkan bagaimana cara mereka travelling, karena terlalu banyak kemujuran yang menimpa mereka. Juga tidak dibutuhkan effort yang lebih untuk keluar dari masa sulit.

Bagian sinematografi bolehlah mendapat kredit tersendirinya disini. Terlepas dari objeknya yang memang sudah sangat indah, tetapi dengan cara pengambilan yang ampuh tentu semakin memanjakan mata. Dari bangunan-bangunan berarsitektur megah di Amsterdam, landskap panorama jalanan dan pegunungan yang membelah kota Innsbruck, hingga romansa indahnya Venice bersama gondola-gondola yang melaju berhasil ditangkap secara maksimal. Semakin padu dipadankan dengan score dan music yang mengalun sepanjang perjalanan. Terdengar begitu pas dan tentu saja menambah daya tarik lebih menekankan cita rasa khas Eropa dalam film ini.

Naskah yang ditulis oleh Titin Wattimena yang belum lama ini berkarya lewat “Hello Goodbye” juga bisa dibilang mumpuni terlepas dari kekonyolan yang terjadi di awal. Bagaimana tidak, dialog-dialog yang ada sangat mencerminkan maksud dan makna dari kisah perjalanan ini. Walaupun kental dan sarat dengan penggambaran bagaimana travelling bagi orang kebanyakan, tetapi tentu tidak hanya itu. Ditambah dengan adanya cerita dan drama yang ia balut menjadi benang merah penghubung antar konflik yang ada. Disamping itu, bumbu-bumbu penyedap berupa kejutan dalam cerita yang diselipkan juga dirasa pas pada tempatnya dan tidak berlebihan.

Pemenang dalam film ini bisa dibilang ada pada departemen aktingnya. Sangat berhasil dengan mendapuk duet aktris Prisia Nasution dan Adinia Wirasti sebagai tokoh sentral. Masing-masing berhasil membawakan perannya dengan baik meski sangat bertolak belakang satu sama lain, terlebih Adinia Wirasti yang diharuskan berlakon sebagai Marsha yang semrawutan, lepas, dan seenaknya sendiri sehingga kita simpati dan empati sekaligus kepadanya. Meski banyak yang bilang hal ini bukanlah hal yang baru baginya karena sebelumnya pernah bermain dalam 3 Hari Untuk Selamanya yang bertema serupa. Chemistry mereka sebagai sahabat karib sungguh kental. Mulai dari beradu mulut mempertahankan argumen,  hingga mengeluarkan sisi humoris dan melankolis mereka. Terutama saat konflik yang mereka alami sudah mencapai puncaknya itu. Saling lempar dialog plus gejolak emosi yang diberikan keduanya dan pada akhirnya saya pun berujar, “okay, mereka ini termasuk komoditi berharga dunia perfilman tanah air!”


Penutup kata, bagi saya Laura & Marsha termasuk film Indonesia yang kualitasnya di atas rata-rata dan layak untuk ditonton.  Film ini cocok untuk dijadikan referensi untuk travelling ke Eropa karena walaupun tidak secara mendetail dijelaskan masalah bujet, paling tidak jadi mengetahui bagaimana gambaran untuk travelling selama disana. Selain itu yang yang paling penting adalah bagaimana cara kita untuk menikmati travelling tersebut walaupun di tengah carut marut yang mengkin terjadi di luar kuasa kita, baik sendirian maupun bersama dengan partner travelling yang semestinya sudah tau luar-dalam akan diri kita, mengerti dan memahami kekurangan masing-masing. Karena esensi dalam travelling sendiri itu adalah menemukan, merenungkan, sekaligus mengeksplorasi diri kita sesungguhnya dan menambah khasanah kita untuk selalu bersyukur kepada-Nya.

No comments:

Post a Comment