Menjelajah bersama sahabat yang kita anggap sebagai “travel mate” sejati tentu adalah hal yang diidam-idamkan bagi semua orang. Apalagi tujuannya adalah ke Eropa yang notabene bukan temasuk kategori wisata yang gampang bagi sebagian besar orang. Dalam film Laura & Marsha inilah, kita diajak berpetualang menikmati keindahan panorama kota-kota di Eropa, mulai dari Amsterdam di Belanda hingga Venice di Italia. Tapi apakah film ini hanya menjual keindahan latar tempat syutingnya saja?
Bermula dari keinginan Marsha
(Adinia Wirasti) yang berprofesi sebagai penulis buku best seller bertemakan
travelling yang ingin berkeliling Eropa dengan misi “merayakan” 2 tahun meninggalnya Sang Ibunda. Ia semakin
termotivasi setelah bermimpi mengunjungi suatu tempat yang sangat diyakini itu
adalah salah satu kota di Eropa. Tak lupa pula Marsha mengajak sahabat karibnya
sedari SMA, Laura (Prisia Nasution) untuk ikut serta berkeliling Eropa sembari
mengharap kesempatan mendapatkan diskon lewat Tour & Travel dari tempat
Laura sehari-hari bekerja sebagai karyawan. Keinginan Marsha tentu tidak
langsung diamini oleh Laura. Karena pada hakikatnya Laura adalah seorang single
parent yang tentu tidak ingin berlama-lama meninggalkan anak semata wayangnya,
Luna. Tetapi karena satu peristiwa yang dia alami membuat padangannya sedikit
berubah dan pada akhirnya setuju untuk menjadi “travel mate” bagi sahabatnya itu.
Setelah tiba pertama kali di Amsterdam, Laura menegaskan kepada sahabatnya itu akan aturan-aturan yang harus dipatuhi selama perjalanan mereka nanti. Marsha yang lebih ingin menikmati kebebasan dalam bertravelling pun setengah hati menyetujuinya. Meski demikian seiring perjalanan, karena watak dan sifat mereka yang berbeda membuat semuanya menjadi runyam. Gesekan kepentingan dan prioritas masing-masingpun ikut serta dipermasalahkan. Tak berhenti sampai disitu semakin bertambah pelik dengan hadirnya sosok asing bernama Finn yang bergabung untuk travelling bersama mereka. Siapa Finn sesungguhnya? Dan sebenarnya apa motif tersembunyi yang melatarbelakangi perjalanan mereka ini? Dapatkan mereka mengatasi masalah demi masalah yang menerpa mereka?
Setelah tiba pertama kali di Amsterdam, Laura menegaskan kepada sahabatnya itu akan aturan-aturan yang harus dipatuhi selama perjalanan mereka nanti. Marsha yang lebih ingin menikmati kebebasan dalam bertravelling pun setengah hati menyetujuinya. Meski demikian seiring perjalanan, karena watak dan sifat mereka yang berbeda membuat semuanya menjadi runyam. Gesekan kepentingan dan prioritas masing-masingpun ikut serta dipermasalahkan. Tak berhenti sampai disitu semakin bertambah pelik dengan hadirnya sosok asing bernama Finn yang bergabung untuk travelling bersama mereka. Siapa Finn sesungguhnya? Dan sebenarnya apa motif tersembunyi yang melatarbelakangi perjalanan mereka ini? Dapatkan mereka mengatasi masalah demi masalah yang menerpa mereka?
Subjektif dalam menilai suatu
film tentu sah-sah saja, bukan? Dikatakan lumrah karena kita sendirilah yang
tau standar penilaian tersebut. Banyak aspek yang menjadi pertimbangan kita
dalam menilai. Dan tentu saja setiap individu punya kriterianya masing-masing.
Inilah yang saya rasakan setelah menonton Laura & Marsha.
Sebagai orang yang doyan
dengan yang namanya travelling, film ini tentu punya nilai lebih bagi saya.
Bahkan terlepas sebelum menonton filmnya sekalipun, saya tau kalau saya
kemungkinan besar akan menyukainya. Bagaimana tidak? Seperti road movie kebanyakan, bisa dipastikan
film ini akan membawa kita jalan-jalan ke berbagai tempat dan lokasi yang
berbeda. Apalagi setelah mengetahui kalau film ini bersettingkan beberapa kota
di Eropa. Oh gosh. Langsung dimasukkan sebagai tontonan wajib tentunya.
Tayang ditengah gempuran
film-film summer hollywod berbujet besar sepertinya akan sangat mempengaruhi
pencapaian film ini nantinya. Seperti yang dapat dilihat waktu nonton kemarin,
Laura & Marsha dikeroyok oleh Furious Six yang mendapat jatah tayang di 3
teater. 1 teater yang tersisa diberikan untuk Laura & Marsha. Tragisnya
lagi itu adalah teater dengan kapasitas penonton paling sedikit. Makin ngenes
setelah mendapati penonton didalamnya hanya terhitung belasan kepala saja.
Tidak heran kalau film ini nanti hanya akan sanggup bertahan untuk seminggu
kedepan.
Film perdana buah karya
sutradara debutan Dinna Jasanti ini sebenarnya sangat lemah di sepertiga paruh
awalnya. Terutama editing yang dirasa cukup kacau dan melompat-lompat demi
segera mengejar untuk langsung sampai di Eropa. Yang lebih terkesan maksa yaitu
tatkala kita disuguhi kecelakaan fatal yang menimpa salah satu tokohnya sehingga
membuat ia koma, namun dalam sekejap kemudian sembuh seperti sediakala. Mungkin
sutradara ingin lebih terperinci dalam menjelaskan maksudnya, tapi pada
akhirnya menjadi bagian yang begitu lemah. Tidak ada bagian itu juga tidak akan
merusak hasilnya. Dahipun berkernyit dan membuat ekspektasi menjadi agak
menurun.
Tapi syukurlah ternyata bagian
paling jelek dan konyol berakhir hanya sampai disitu saja, karena setibanya
mereka di Eropa dan mulai melakukan perjalanan semuanya berubah menjadi lebih
menarik. Sepanjang film saya sempat mengumbar senyum beberapa kali karena salah
satu karakternya mirip dengan saya apabila sedang travelling. Bagaimana konflik
dan apa yang mereka rasakan dan alamipun juga pernah saya hadapi. Seakan bercermin
dan ikut melakukan perjalanan bersama mereka. Sangat menyenangkan. Meski
terlalu banyak menggampangkan bagaimana cara mereka travelling, karena terlalu
banyak kemujuran yang menimpa mereka. Juga tidak dibutuhkan effort yang lebih
untuk keluar dari masa sulit.
Bagian sinematografi bolehlah
mendapat kredit tersendirinya disini. Terlepas dari objeknya yang memang sudah sangat
indah, tetapi dengan cara pengambilan yang ampuh tentu semakin memanjakan mata.
Dari bangunan-bangunan berarsitektur megah di Amsterdam, landskap panorama
jalanan dan pegunungan yang membelah kota Innsbruck, hingga romansa indahnya
Venice bersama gondola-gondola yang melaju berhasil ditangkap secara maksimal. Semakin
padu dipadankan dengan score dan music yang mengalun sepanjang perjalanan.
Terdengar begitu pas dan tentu saja menambah daya tarik lebih menekankan cita rasa
khas Eropa dalam film ini.
Naskah yang ditulis oleh Titin
Wattimena yang belum lama ini berkarya lewat “Hello Goodbye” juga bisa dibilang
mumpuni terlepas dari kekonyolan yang terjadi di awal. Bagaimana tidak,
dialog-dialog yang ada sangat mencerminkan maksud dan makna dari kisah
perjalanan ini. Walaupun kental dan sarat dengan penggambaran bagaimana
travelling bagi orang kebanyakan, tetapi tentu tidak hanya itu. Ditambah dengan
adanya cerita dan drama yang ia balut menjadi benang merah penghubung antar
konflik yang ada. Disamping itu, bumbu-bumbu penyedap berupa kejutan dalam
cerita yang diselipkan juga dirasa pas pada tempatnya dan tidak berlebihan.
Pemenang dalam film ini bisa
dibilang ada pada departemen aktingnya. Sangat berhasil dengan mendapuk duet
aktris Prisia Nasution dan Adinia Wirasti sebagai tokoh sentral. Masing-masing
berhasil membawakan perannya dengan baik meski sangat bertolak belakang satu
sama lain, terlebih Adinia Wirasti yang diharuskan berlakon sebagai Marsha yang
semrawutan, lepas, dan seenaknya sendiri sehingga kita simpati dan empati
sekaligus kepadanya. Meski banyak yang bilang hal ini bukanlah hal yang baru
baginya karena sebelumnya pernah bermain dalam 3 Hari Untuk Selamanya yang
bertema serupa. Chemistry mereka sebagai sahabat karib sungguh kental. Mulai
dari beradu mulut mempertahankan argumen,
hingga mengeluarkan sisi humoris dan melankolis mereka. Terutama saat
konflik yang mereka alami sudah mencapai puncaknya itu. Saling lempar dialog
plus gejolak emosi yang diberikan keduanya dan pada akhirnya saya pun berujar,
“okay, mereka ini termasuk komoditi berharga dunia perfilman tanah air!”
Penutup kata, bagi saya Laura
& Marsha termasuk film Indonesia yang kualitasnya di atas rata-rata dan layak
untuk ditonton. Film ini cocok untuk
dijadikan referensi untuk travelling ke Eropa karena walaupun tidak secara
mendetail dijelaskan masalah bujet, paling tidak jadi mengetahui bagaimana
gambaran untuk travelling selama disana. Selain itu yang yang paling penting
adalah bagaimana cara kita untuk menikmati travelling tersebut walaupun di
tengah carut marut yang mengkin terjadi di luar kuasa kita, baik sendirian
maupun bersama dengan partner travelling yang semestinya sudah tau luar-dalam
akan diri kita, mengerti dan memahami kekurangan masing-masing. Karena esensi
dalam travelling sendiri itu adalah menemukan, merenungkan, sekaligus
mengeksplorasi diri kita sesungguhnya dan menambah khasanah kita untuk selalu
bersyukur kepada-Nya.



No comments:
Post a Comment